Hal ini membuat kita semua bertanya – tanya, apakah akan terjadi krisis?
Ada baiknya kita lihat karakter pergerakan IHSG terhadap US Dollar dalam beberapa waktu terakhir. Kami memakai perbandingan IHSG karena IHSG merupakan refleksi perekonomian Indonesia.
Grafik 1: Periode 5 tahunan
Jika dilihat dari tahun 2011, beberapa kali terjadi koreksi pada iHSG (warna putih). Pergerakan IHSG secara persentasi kami bandingkan dengan nilai tukar US Dollar terhadap Rupiah (Warna merah). Tampak jelas dimana IHSG terkoreksi ketika terjadi lonjakan kenaikan pada US Dollar (Kotak kuning). Lonjakan US Dollar terhadap Rupiah tampak jelas memberikan efek koreksi & konsolidasi pada IHSG (dan perekonomian Indonesia tentunya)
Menariknya, terlepas dari koreksi – kreksi yang terjadi, akumulasi kenaikan IHSG dan US Dollar sepanjang 5 tahun terakhir adalah sama, tumbuh +/- 50%. Bagaimana ini bisa terjadi?
Grafik 2: Mengulang krisis 1998?
Grafik di atas menunjukkan perbandingan antara IHSG dan US Dollar secara persentase dari tahun 1995 sebelum terjadinya krisis. Posisi US Dollar di level 13000-an seakan mengingatkan kembali kondisi US Dollar ketika tahun 1998 bukan? Mirip sih, tapi apakah sama?
Tampak jelas bahwa ketika itu US Dollar melonjak sangat tajam lebih dari 600% dan IHSG pun turun tajam sekitar 50%-an. Hubungan terbalik antara nilai tukar dengan US Dollar tampak jelas disini. Kenaikan US Dollar dari level 2000-an menjadi 15000 (penutupan) tentu memberikan tekanan luar biasa bagi dunia usaha bukan? Jika sebelumnya berhutang 100 juta tiba – tiba menjadi 750 juta! Bagaimana melunasinya? Daya beli masyarakat pun menurun. Jika sebelumnya bisa membeli 7,5kg beras hanya bisa beli 1kg saja dengan uang yang sama. Semakin sulit dunia usaha melunasi kewajibannya karena yang membeli produk pun tidak ada.
Dari grafik 2 di atas, ekonomi Indonesia baru mulai benar – benar pulih pada tahun 2002 – 2004. Membutuhkan waktu sekitar 7 tahun bagi IHSG untuk melampaui level tertinggi sebelum krisis. Ini menunjukkan krisis waktu itu benar – benar krisis, bukan sekedar ketakutan belaka.
17 tahun berlalu dan di tahun 2015 ini Rupiah kembali mengalami tekanan dan US Dollar kembali mencapai level tertinggi pasca krisis 1998 dan 2008 di level 13200. Akankah Rupiah kembali ke level ketika krisis? Akankah krisis ekonomi kembali terjadi?
Era US Dollar Mahal
Coba anda lihat grafik US Dollar (merah) di atas kembali. Setelah lonjakan tahun 1998, US Dollar bergerak dalam range 8400 – 11700. Ekonomi Indonesia pun tumbuh, menariknya bukan dengan level US Dollar di 2000 namun di dikisaran 8400 – 11700 dalam 15 tahun terakhir ini. 15 tahun ekonomi tumbuh lho. Artinya, level 8400 – 11700 menjadi ekuilibrium baru nilai tukar bagi ekonomi Indonesia.
Grafik 2 juga menunjukkan IHSG tumbuh sangat tinggi, jauh melebihi pertumbuhan US Dollar pasca krisis 1998 bukan. Dalam periode grafik 2, IHSG tumbuh sebesar +1159%, jauh lebih tinggi dari US Dollar yang ‘hanya’ tumbuh 584%. Mungkin akan muncul pertanyaan ‘bodoh’: “Apa iya pertumbuhan ekonomi Indonesia lah yang mengerek nilai US Dollar (menguat) terhadap Rupiah (melemah)?”
Jadi, apa yang harus dilakukan? Panik atau cool?
Lihat Grafik 1, tampak bahwa lonjakan US Dollar di atas rata – rata diiringi koreksi pada IHSG. Setelah tekanan reda, IHSG kembali bergerak naik. Siklus pun berulang ketika US Dollar kembali melonjak tajam. Jadi ketika US Dollar naik signifikan, kesempatan bagi kita untuk Buy on Weakness.
Lihat Grafik 2, terlihat dengan jelas bahwa:
- Ekonomi Indonesia mengalami krisis hebat akibat lonjakan US Dollar yang hebat pula: 600% (abnormal)
- IHSG dalam jangka panjang mampu tumbuh walaupun US Dollar bergerak dalam range lebih tinggi di 8400 – 11700, bukan kembali ke level 2000-an (new normal)
- Di level 13200, Rupiah melemah sebesar 12% – 29% dari kisaran new normal (point 2), dan bukan ratusan persen seperti point 1.
- IHSG tumbuh 1159%, hampir 2x dari kenaikan US Dollar.
KESIMPULAN:
Dalam jangka pendek, lonjakan nilai tukar US Dollar terhadap Rupiah (dalam kategori wajar) akan diiringi dengan koreksi pada pasar modal. Demikian pula dengan sektor riil yang mungkin akan melambat. Namun ketika kondisi stabil, daya beli tetap terjaga, maka ekonomi akan tumbuh kembali.
Dalam jangka panjang, data menunjukkan bahwa IHSG (demikian juga dengan sektor riil) mampu tumbuh tinggi walaupun US Dollar terus menanjak. Kenapa yah? Mungkin salah satu sebabnya karena impor bahan baku untuk pembangunan meningkat.
Jadi, koreksi yang terjadi akibat lonjakan US Dollar sebaiknya dimanfaatkan investor untuk melakukan Buy on Weakness.
Masih sulit untuk menerima & mengerti konsep di atas? Coba lihat analogi di bawah ini:
- Dulu harga mobil 20 juta, mengapa penjualan mobil sekarang jauh lebih banyak padahal harganya sudah diatas 100 juta semua?
- Dahulu makan di food court mall Jakarta hanya butuh Rp. 10.000,-. Kenapa sekarang uang Rp. 30.000,- tidak cukup tapi mall tambah ramai?
- Dahulu orang membeli perkakas & elektronik di Glodok karena murah, tapi sekarang Glodok lebih sepi dan Ace Hardware & Best Denki ada di setiap mall.
- Dulu cenderung lebih sering makan di rumah, tapi kenapa sekarang banyak yang makan di mall walaupun lebih mahal?
- Kenapa cukai rokok terus naik tapi konsumsi rokok tidak turun?
- Harga semen terus melambung dari tahun – ke tahun, tapi kenapa pembangunan properti masih terus melambung?
Jawabannya hanya satu: Daya beli masih kuat & tetap kuat. Selama daya beli ada, maka ekonomi akan terus berputar:)
Demikian ulasan singkat ini kami sampaikan. Kapasitas kami mengulas hanya sebatas teknikal saja. Mohon maaf jika ada hal – hal yang kurang berkenan. Terima kasih, semoga bermanfaat.